logo SLO Nusantara

Subuh baru saja menyingsing di Tashkent. Matahari telah bersinar cerah sejak awal pagi. Setelah makan breakfast, saya memanfaatkan waktu untuk berjalan-jalan dan menikmati pemandangan di sekitar hotel.

Di sekitar hotel tersebut, terdapat satu buah area untuk berolahraga. Ada pula beberapa apartemen yang berasal dari masa Uni Soviet dan juga workshop otomotif serta gedung kecil dengan tulisan “Mahalla Tibbyi Punkti”, yakni fasilitas kesehatan setempat. Secara umum, Maxwell Hotel ini ditempatkan dalam suatu lingkungan atau komplex pemukiman yang cukup sunyi.

Pada sekitar jam 8.30, kita telah bersiap untuk memulai perjalanan epik menuju Atap Dunia. Destinasi awal yaitu ke Lembah Ferghana.

Terdapat empat kendaraan yang berwarna putih. Dari jumlah tersebut, tiga di antaranya terdaftar di Tajikistan sementara satunya lagi berasal dari Kyrgyzstan. Saya kebetulan sedang bersama Dokter Liliek dan Dokter Ida dalam salah satu mobil yang memiliki pendaftaran dari Kyrgyzstan, dengan supir bernama Mirland.

Pada petualangan kali ini turut serta seorang pandit setempat bernama Dinora, wanita berumur kira-kira tiga puluhan yang terlihat amat energetik. Selama ekspedisi tersebut, Dinora akan beralih-alih menggunakan transportasi dan secara berkala singgah di lokasi-lokasi unik guna menyampaikan informasi tambahan.

Ketika kembali kepada supir bernama Mirlan, dia terlihat santun dan baik hati dengan senyum ramah. Meskipun bahasa Inggris-nya cukup bagus, saya tetap lebih menyukai berbicara dalam bahasa Rusia sebagai latihan.

Saat perjalanannya, ternyata saya mengetahui kalau Mirlan berumur kira-kira 28 tahun dan adalah putra sulung dari lima saudara kandungnya. Dia berasal dari Osh, Kirgizstan, dan telah membentuk sebuah keluarga kecil yang mencakup seorang bayi sebagai anak tunggal mereka; meskipun demikian, dia juga menyebutkan tentang hilangnya salah satu buah hatinya saat ia belum lama lahir. Dapat terlihat betapa cintanya Mirlan pada anak-anaknya melalui seringkali dirinya membelikan oleh-oleh bagi sang buah hati tersebut.

Mirlan juga terlihat sangat sigap dan energetik saat membantu kami mengangkat peti tersebut, entah itu dari hotel menuju ke kendaraan atau bahkan saat harus mendorongnya melewati perbatasan antara Uzbekistan dan Kyrgyzstan.

Namun, hubungan kami bersama Mirlan ternyata tak bertahan cukup lama. Saat sedang makan malam di Osh, Mas Agus menyampaikan bahwa dikarenakan suatu masalah teknis, Mirlan harus diganti oleh adiknya yang bernama Zhuba.

Pertemuan dengan Zhuba terjadi saat kami meninggalkan Osh Sunrise Hotel pada hari yang cerah untuk kembali menjelajahi jalan menuju perbatasan Tajikistan. Di sinilah kita juga berkata selamat tinggal kepada Mirlan. Ciri khas Zhuba adalah penampilannya yang tenang dan diam; dia jarang bersuara dan menyebut dirinya berumur dua puluh dua tahun.

Badannya cukup besar namun memiliki pipi yang lucu. Meskipun pemalu, ia terbilang lincah dan sigap saat menyelesaikan tanggung jawabnya seperti membantu memuat koper dan barang bawaan ke dalam kendaraan. Selama perjalanan, tak banyak pembicaraan yang dilakukan bersama Zhuba selain fakta bahwa dirinya hanya beberapa kali saja mendampingi hingga batas wilayah.

Setibanya di perbatasan Kyzyl Art/Bordobe, tugas Zhuba berakhir, karena kami harus melanjutkan perjalanan menggunakan kendaraan dari Tajikistan bersama pengemudinya yang baru, yakni Syamil.

Syamil dengan mobil Toyota Land Cruiser miliknya terlihat telah bersiap menantikan kita di perbatasan tertinggi di planet ini. Ketika hujan salju mulai turun secara halus, sebagian dari rombongan kami dipaksa untuk meninggalkan kendaraannya akibat pemeriksaan bagasi yang dilakukan oleh pejabat cukai asal Tajikistan. Saya merasa sangat beruntung karena koper saya tidak dicek dan tak perlu keluar dari mobil tersebut.

Meski begitu, Syanil masih perlu datang dan pergi dari kantor peti kemas di perbatasan untuk mengurus segala formalitas, dan kami harus menantinya cukup lama dalam kendaraan hingga seluruh armada mobil secara resmi diperbolehkan memasuki Tajikistan.

Selama perjalanan melewati jalur bergelombang dengan kondisi jalan yang cukup menegangkan, kita mulai mengobrol menggunakan campuran Bahasa Inggris dan Rusia. Mobil tersebut adalah kepunyaan sang supir sendiri, sementara Toyota Landcruiser milik Syamil didapatkan dari unit bekas operasi Dubai pada wisata gurun pasir.

Syamil cukup bersahabat dan banyak menceritakan hidupnya sebagai supir sebelum memandu kita menuju Karakul yang dikenal juga sebagai Danau Hitam yang memesona saat senja. Akan tetapi, suhu yang sangat rendah serta elevasi melebihi 4000 meter di atas permukaan laut membuat kami cuma dapat menikmati pesonanya dari jarak aman. Saya tak kuat untuk bertahan lama dalam cuaca ekstrem akibat angin sepoi-sepoi yang menusuk tulang.

Kendaraan milik Syamil adalah yang tertua di antara ketiga kendaraan tersebut, hingga Bu Ida dan Bu Liliek setuju untuk meminta Mas Agus menyetujui pergantian kendaraan mereka.

Pagi harinya saat pergi dari Karakul menuju Murghab/Alichur, kami telah beralih menggunakan mobil Lexus yang ditumpangi oleh Ibrahim. Namun, tim kami singgah sejenak di rumah dan juga toko yang dimiliki oleh keluarga Syamil di Alichur.

Ini adalah Ibrahim yang akhirnya menjadi supir yang telah mendampingi kita terlama sejak perpindahan dari Karakul, Alichur, Langar, Ishkashim, Khalaikumb, Dushanbe, Saritag, hingga ke Khujand.

Setelah itu, Syamil beralih menjadi penumpang untuk rombongan fotografer Pak Yudi, Pak Edy, dan Mbak Retha. Sayangnya, saat mereka sampai di Khorog, kendaraan milik Syamil mengalami kerusakan sehingga perlu digantikan oleh pengemudi serta mobil baru yakni Norbek yang ikut berpartisipasi dari Kalaikhumb; sedangkan Pak Yudi sempat menggunakan kendaraan Anda mulai dari Khorog hingga mencapai Kalaikumb.

Kendaraan Lexus yang dimiliki oleh Ibrahim terpaksa ditinggal di perbatasan antara Tajikistan dan Uzbekistan di Oybek saat kami semuanya pada akhirnya menaiki sebuah bus produksi China menuju ke arah Tashkent.

Ibrahim adalah seorang supir yang sungguh menyenangkan, beradab, dan selalu sigap dalam memberikan bantuan.

Saya pernah diberitahu bahwa Ibrahim adalah seorang dokter berumur kira-kira 43 tahun dan sudah bertahun-tahun bekerja sebagai sopir. Mobil tersebut juga merupakan kepunyaannya sendiri, sementara Ibrahim berasal dari etnis Kyrgyz namun memiliki kebangsaan Tajikistan.

Tetapi saat berbicara denganku, Ibrahim menyebut bahwa dia pernah sekolah atau melanjutkan studi hingga kurang lebih tiga tahun dan ia bukannya seorang ataupun dokter. Karena alasan tersebut, aku memilih untuk tidak menanyakan hal lainnya secara mendalam.

Sejauh perjalanan yang sungguh melelahkan dengan jarak ribuan kilometer melalui Lembah Wahan di perbatasan antara Tajikistan dan Afghanistan, Ibrahim kerap memutarkan lagu-lagu dalam bahasa Kyrgyz di mobilnya. Salah satu pilihan favoritnya adalah lagu bernama Jamilah yang terdengar begitu lembut dan mengalun indah.

Demikianlah, setiap pertemuan tentunya ada perpisahan. Jika dengan Mirlan kami harus berpisah di Osh dan dengan Zhuba di Kyrgyz Art, maka di Bandara Tashkent kami semua berpisah baik dengan Nazar, Ibrahim, Manaf maupun Norbek dan tentu saja dengan Ibrahim.

Pertemuan dan kebersamaan selama hampir dua minggu di Atap Dunia memang sangat berkesan. Apalagi ditemani oleh Jamilah di sepanjang Lembag Wahan.