logo SLO Nusantara



SLO NUSANTARA


,


Jakarta


– Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perbarui KUHAP menegur cara penyusunan RUU Hakim AcaraPidana (RUHUAP)
RUU KUHAP
) di DPR yang dipandang terlalu cepat.

Koalisi menolak klaim Komisi Hukum DPR bahwa usulan tersebut bersifat progresif. Mereka menyebutkan bahwa rancangan UU KUHAP—yang telah diposting di laman resmi DPR—masih belum mengatasi inti dari persoalan dalam implementasi ketentuan yang berlaku sekarang. Koalisi merespons dengan menyatakan hal itu sebagai “tidak bertanggung jawab, tidak adil, dan tidak mendukung kepentingan hak-hak warga negara,” sesuai dengan isi pernyatan tertulis yang diterima.
Tempo
, Sabtu, 29 Maret 2025.

Koalisi juga meragukan niat DPR karena menginginkan penyelesaian diskusi dalam dua periode sesi parlemen atau kira-kira Oktober-November 2025. Sebab itu, terdapat 334 pasal di dalam rancangan UU KUHAP dan daftar inventaris masalahnya meliputi hingga 2.160 pasal/ayat. Mengingat angka tersebut, proses pemeriksaannya tentunya akan memerlukan durasi yang lebih panjang.

“Masuk akalnya membicarakan hal ini bukan dalam periode beberapa bulan saja. Apabila tidak dikerjakan dengan teliti serta memasukkan partisipasi dari kalangan masyarakat umum dan mereka yang terpengaruh, rancangan undang-undang tersebut bisa jadi akan mendukung penyelewengan hak asasi manusia di dalam struktur pengadilan kejahatan,” ungkap Koalisi Masyarakat Sipil.



sembilan tantangan utama dalam rancangan undang-undang kode penalti umum

Koalisi Masyarakat Sipil mengidentifikasi paling tidak sembilan kesulitan signifikan yang harus diatasi dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP, termasuk namun tidak terbatas pada:

  1. Pengaduan Kekerasan Hukum: Diperlukan prosedur transparan agar para korban dapat mengharuskan jaksa penuntut atau hakim melanjutkan pengaduan yang dilalaikan oleh pihak penyelidik.
  2. Pemantauan Pelaksanaan Hukum: Dibutuhkannya sistem peradilan (

    judicial scrutiny

    agar usaha paksaan dan langkah penyelidikan bisa dievaluasi dengan mendalam di pengadilan.
  3. Prosedur Resmi Pencaptaan dan penyitaan harus mengikuti persetujuan dari pengadilan, terkecuali pada situasi darurat yang telah ditentukan dengan jelas aturannya.
  4. Fungsi Pengacara: Memperkuat wewenang pengacara untuk mendapatkan akses ke berkas investigasi dan memastikan adanya bantuan hukum bagi tersangka tanpa ada batasan.
  5. Investigasi Spesial: Wewenang Metode Investigasi Spesial Seperti

    undercover buy

    dan

    controlled delivery

    perlu memperoleh persetujuan dari pengadilan dan tak dapat dijalankan selama masa penyelidikan.
  6. Sistem Bukti: Adalah penting untuk memiliki definisi yang tegas mengenai apa itu bukti. Harus ada jaminan ”

    alasan yang cukup” dalam setiap tindakan agar tidak hanya mengacu pada 2 (dua) alat bukti di awal untuk terus dijadikan alasan menangkap, menggeledah, dan lainnya.
  7. Sidang Elektronik: Harus ada batasan mengenai “situasi tertentu” yang mana sidang elektronik dapat dilakukan tanpa mengorbankan transparansi dan hak publik.
  8. Keadilan Pemulihan: Proses penanganan kasus diluar Pengadilan perlu bersifat transparan untuk mencegahnya berubah menjadi sarana negosiasi atau eksploitasi wewenang.
  9. Perlindungan Hak Tersangka, Saksi, dan Korban: Diperlukan ketentuan jelas tentang proses restitusi untuk para korban serta adanya saluran komplain apabila hak-hak tersangka atau saksi terlanggar.

Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bukan sekadar soal mengubah beberapa pasal, melainkan juga mesti menciptakan sistem pengadilan pidana yang lebih adil, transparan, dan fokus pada pelindungan hak-hak asasi manusia. Mereka menyerukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat agar membuka kesempatan bagi partisipasi publik yang lebih besar serta melakukan analisis mendalam sebelum merancang undang-undang KUHAP tersebut.

Kelompok-kelompok yang ikut serta dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP meliputi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, Institut Reformasi Peradilan Pidana (ICJR), PBHCI Nasional, Kontras, AJI Indonesia, bersama beberapa badan lainnya.