SLONUS
,
Bandung
– Para pengelola
hotel
Di Bandung mulai bulan Februari tahun 2025 memangkas staf kerja. Menurut Arief Bonafianto, yang merupakan ketua Riung Priangan, hal ini terjadi lantaran minimnya kegiatan.
MICE
(
Meetings, Incentives, Conferences, Exhibitions
Sejak awal tahun berikutnya setelah implementasi kebijakan efisiensi oleh pemerintahan tersebut, “Pemutusan hubungan kerja antara 20 sampai 25 persen secara rata-rata untuk masing-masing hotel,” ungkapnya saat diwawancarai Tempo pada hari Selasa, tanggal 1 April 2025.
Riung Priangan adalah sebuah komunitas yang terdiri atas manajer properti dari 96 hotel berkelas tiga hingga lima bintang di Bandung. Menurut Arief, rata-rata pendapatan hotel biasanya datang sebesar 80% dari aktivitas MICE (Meetings, Incentives, Conferences, Exhibitions). Sementara sisanya yaitu 20%, diperoleh dari laju penghuni atau pemakaian kamar oleh tamu seperti turis yang menginap pada akhir pekan dan hari-hari besar nasional. Meskipun demikian, semenjak awal tahun mulai Januari sampai dengan Maret selama masa Ramadhan, angka hunian justru menunjukkan trend penurunan.
Sejak Februari kemarin, beberapa hotel telah memangkas jumlah staf, terutama para pekerja harian atau orang-orang yang umumnya menangani tamu. Beberapa karyawan di-PHK, jam kerja sebagian lainnya dipotong, serta kontrak yang berakhir tidak diperbaharui lagi. “Posisi kita sudah sulit, apabila hal ini berlanjut hingga enam bulan ke depan kami cukup khawatir,” ungkap Arief.
Di luar pemotongan staf, langkah hemat lainnya meliputi penyusutan jumlah makanan untuk sarapan. Situasinya semakin sulit dengan penutupan beberapa hotel sebagaimana terjadi di daerah Bogor. Arief menyatakan bahwa penuturan tersebut bersifat sementara sampai kondisinya pulih kembali. Dampak bergulir akibat hal ini pun turut dirasakan oleh para pelaku bisnis mikro dan kecil, termasuk mereka yang menjadi supplier nasi atau sayuran.
Dia berharap pihak pemerintahan akan mempertimbangkan kembali istilah tersebut.
efisiensi anggaran
“Seberapa jauh parameter efisiensi ini mengharuskan kita sepenuhnya untuk meniadakan acara MICE di hotel? Mengapa hal itu tidak bisa dilakukan dan apa saja batasan-batasannya?” katanya. Apabila MICE betul-betul diberhentikan atau dilarang, maka beban operasional pada hotel bakal bertambah berat lagi.” “Pihak pemerintahan perlu mempertimbangkan fakta bahwa pendapatan asli daerah tertinggi berasal dari industri pariwisata, dengan urutan pertama datang dari bidang perhotelan,” tambahnya.
Perhotelan sudah menginformasikan situasi tersebut kepada Wali Kota Bandung M. Farhan, tetapi pedoman regulernya datang dari pemerintah nasional. “Kami sebagai pengusaha bidang pariwisata di kota Bandung benar-benar merasakan dampak signifikan akibat efisiensi yang dilakukan oleh pemerintahan,” ungkapnya. Di samping itu, Riung Priangan juga telah meneruskan aspirasinya ke Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat supaya dapat tersampaikan hingga ke Kementerian Pariwisata beserta Kementerian Keuangan.
Menurut Arief, tim mereka menganggap situasi ini sangat kritis dan bila tak dituntaskan dengan cepat dapat memburuk akibat dampak dari pandemic COVID-19 pada industri perhotelan. Saat pandeminya diklaim sebagai suatu halurat.
force majeure
Secara global, pemilik bisnis dapat menghentikan operasi sebuah hotel. “Saat ini belum memungkinkan untuk melakukannya karena masih ada sekitar 10-15% tamu yang tetap berkunjung ke hotel, menjadikannya dilema apakah harus melayani atau tidak, sementara biaya operasional terus berlanjut,” jelasnya.
Di samping itu selama masa pandemi, semua elemen turut serta dalam komitmen bersama sehingga terdapat fleksibilitas untuk perencanaan ulang struktur finansial dan operasional hotel juga masih bisa dilanjutkan. Selain itu diberikan juga dispensasi pajak lokal. “Untuk saat ini kami belum mendapatkan bantuan apapun sebab situasi ini tidak termasuk sebagai suatu kasus force majeure ataupun bencana alam, jadi hal tersebut tetap menjadi tanggungan bagi kami karena pinjaman di bank tentunya harus tetap dibayar,” ungkapnya.
Menurut dia, apabila situasi ini masih bertahan sampai beberapa bulan mendatang dengan tingkat hunian yang rendah, maka pemecatan staf di hotel tersebut bakal semakin memburuk dan jam kerja hanya tersisa 40%.