BEREDAR
Perjanjian Kerjasama (PKS) antara Universitas Udayana dan
Unud
Dengan Komando Daerah Militer (Kodam) IX Udayana. Akan tetapi, pasal-pasal yang tertera dalam perjanjian tersebut dipandang dapat ikut campur ke dalam lingkungan akademik di sektor sipil, khususnya pada kawasan perguruan tinggi.
Unud membangun kemitraan dengan TNI AD atau
TNI
AD
Komando Daerah Militer (Kodam) IX/Udayana. Kemitraan tersebut dicatat dalam dokumen kesepakatan bernomor B/2134/UN14.IV/HK.07.00/2025.
Universitas Udayana sudah menyetujui kesepakatan kolaborasi bersama Kodam IX/Udayana. Penandatanganan dokumen tersebut terjadi pada 5 Maret 2025, namun informasinya hanya dirilis kepada masyarakat melalui akun Instagram resmi universitas ini pada tanggal 26 Maret 2025.
Setelah pemutaran KS ini dilakukan pada tanggal 26 Maret 2025, beberapa mahasiswa dari Unud secara cepat merespons hal tersebut. Tanggapan mereka diekspresikan melalui pengunggahan sebuah petisi di situs web.
change.org
berjudul
Kampus Tak Seperti Asrama: Batalkan Kerjasama Unud dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat!
oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM FH) Unud pada Minggu, 30 Maret 2025.
Menurut pantauan
Tempo
Hingga Rabu, 2 April 2025 pukul 17:52 WITA, petisi itu sudah ditanda-tangani minimal oleh 13.493 orang.
“Kami menolak hal ini karena khawatir adanya elemen militerisasi di lingkungan pendidikan yang harusnya bersifat independen dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan kelompok tertentu,” ungkap Ketua BEM Unud, I Wayan Arma Surya Darmaputra melalui pernyataan tertulis pada hari Senin, tanggal 31 Maret 2025.
Beberapa ketentuan dalam perjanjian tersebut menarik banyak perhatian, terutama Pasal 7 yang mengatur tentang pertukaran data informasi sebagai bagian dari kesepakatan kerjasama. Ketentuan ini memberikan izin kepada Kodam IX/Udayana untuk meminta dan menerima data terkait pendaftaran mahasiswa baru.
Poin terakhir yang mendapat perhatian dalam kesepakatan itu adalah program pelatihan pertahanan nasional serta pembinaan wilayah yang dikerjakan oleh Kodam IX/Udayana di Universitas Udayana. Hal ini disebutkan pada Pasal 8 bab 2 dari perjanjian tersebut.
Dalam berkas tersebut dijelaskan pula bahwa perjanjian kolaborasi ini dibangun atas dasar memorandum of understanding (MoU) antara Mendikbudristek Nadiem Makarim dengan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono pada tahun 2023.
Menghadapi situasi tersebut, Dosen Ilmu Politik dari Universitas Udayana (Unud), Efatha Filomeno Borromeu Duarte, berpendapat bahwa perguruan tinggi harus memperkuat posisi sebagai ruang di mana akal dapat berkembang dengan bebas. Dia juga menyatakan bahwa ketakutan mahasiswa terkait kedatangan tentara ke kampus tidaklah semata-mata tentang itu sendiri.
militer
memasuki kawasan perguruan tinggi, tetapi kurangnya kemampuan dalam merencanakannya.
“Kedatangan militer di lingkungan kampus bukanlah hal yang buruk. Yang menjadi permasalahan adalah kita kurang memahami bagaimana merencanakannya dengan baik,” ungkapnya saat wawancara tersebut.
SLONUS
dengan menggunakan pesan tulisan pada Rabu, 2 April 2025.
Oleh karena itu, pendapatnya adalah bahwa apabila Unud dapat menjamin tiga aspek yaitu keterbukaan informasi, kesamarataan, serta pengawasan publik, maka kolaborasi tersebut malah akan menguntungkan sistem demokrasi dan merambah lebih luas dalam bidang ilmu pengetahuan.
Trauma yang belum pulih
“Setelah diselidiki, penyebab masalah tersebut tidaklah dikarenakan kolaborasi itu dilaksanakan dengan tergesa-gesa atau acak. Sebalinya, karena pengumuman tersebut dibuat tanpa landasan cerita yang kuat, hal ini dilihat sebagai benturan dalam ranah umum layaknya truk tanpa pengereman; meski dari segi aturan sudah sesuai hukum, namun secara emosional membuat orang cemas. Hal ini tak hanya berkaitan dengan pertukaran dokumen atau tandatangan, melainkan juga tentang kepekaan mengenai kesadaran nasional akan militarisme area sipil,” katanya.
Efatha memori tentang masa gelap hubungan antara civitas academica dan angkatan bersenjata, dimana area kampus dilindungi secara ketat. Jauh dari mendapatkan perhatian penuh untuk pemeliharaan, tempat-tempat dialog dulunya dipantau dengan cermat. Dengan demikian, ia menyebutkan bahwa tidak peduli betapa tulusnya niat mereka, setiap upaya pasukan militer untuk merambah ranah pendidikan pasti akan bertemu dengan keraguan historis yang masih dalam tahap penyembuhan.
Oleh karena itu, dia menggarisbawahi bahwa kolaborasi seperti ini harus dianggap sebagai landasan etika yang kukuh serta kesadaran jujur yang tak tergoyahkan. Dia menjelaskan, “Sebab dalam ranah pengambilan keputusan bersama, serba cepat namun kurangnya pemikiran filosofis hanya akan membawa satu hasil, yaitu ancaman legitimitas yang sulit digantikan dengan statistik ataupun pertemuan-pertemuan koordinasi,” ungkapnya saat berbicara kepada SLONUS.
Jika Terealisasi, Apa Batasannya?
Mengevaluasi salah satu pasal dalam perjanjian tersebut yang membolehkan Kodam IX Udayana mengirim siswa didiknya untuk mengejar gelar S1, S2, dan S3 di Unud, Efatha berpendapat bahwa tindakan ini boleh-boleh saja.
“Jika TNI berencana untuk mengirim siswanya ke perguruan tinggi, hal tersebut boleh dilakukan. Namun, yang legal dari segi hukum belum tentu tepat dari sisi etis. Inilah saatnya kita menetapkan garis pemisah yang jelas, tidak hanya dalam aturan tetapi juga dalam prinsip,” ungkapnya.
Yang dimaksudnya adalah tentara seharusnya tidak merusak atau membentuk ulang serta mensusun kurikulum layaknya doktrin, mengevaluasi aspek-aspek kognitif, afektif, kemampuan mandiri, dan logika mahasiswa. Apalagi sampai menciptakan pengaruh pada orientasi ideologis dan sasaran pendidikan mereka.
Di samping itu, hal lain yang tak kalah vital menurutnya adalah persetujuan tentang pembagian jumlah peserta didik berdasarkan cabang tentara untuk menghindari dominasi satu pihak. Selain itu, calon siswa dari semua lapisan masyarakat harus melewati proses penilaian akademis yang transparan tanpa ada keuntungan instansi.
Ia menambahkan, “Perjanjian Kerjasama yang dilakukan oleh Unud dengan mitra militer ini bisa diperinci lebih lanjut dan komprehensif setelah memperoleh persetujuan dari berbagai pihak terkait baik itu internal maupun eksternal. Nanti, apabila ada penyesuaian atau perubahan maka dokumen tersebut dapat dirilis ke publik.”
Selanjutnya, mengenai Pasal 7 tentang Pertukaran Data dan Informasi yang menegaskan bahwa kedua belah pihak diperbolehkan untuk melakukan proses pertukaran data serta informasi dengan mencakup berbagai elemen krusial seperti penyedia, pemilik, metode transmisi, sambil tetap menerapkan etika dalam hal komunikasi yang efisien dan terjamin keamanannya. Jenis-jenis pertukaran data dan informasi tersebut bisa termasuk seleksi calon Perwira Prajurit Karier Tentara Nasional Indonesia (PA PK TNI) dan juga penentuan mahasiswa baru.
Efatha menganggap penting adanya pengawasan yang tegas berkaitan dengan titik kolaborasi tersebut karena menurutnya data mencerminkan eksistensi identitas individu, wujud dari kebebasan, serta komponen dari hak asasinya di dunia maya. “Jadi jika data diberikan dalam rangka meningkatkan efisiensi atau memperkuat mitra kerja namun tidak didampingi oleh kontrol yang pasti, universitas bukan lagi pelindung kebebasan melainkan menjadi agen pemantau yang kurang disadar,” ungkapnya.
Dia menyebutkan bahwa jika kolaborasi tersebut pada akhirnya terwujud, pendidikan harus diselaraskan dengan prinsip-prinsip akademis. “Hal yang dibutuhkan oleh kita saat ini bukanlah panik etika, melainkan pemahaman holistik. Universitas merupakan tempat pengetahuan. Jika tentara ikut serta sebagai pelajar, tidak sebatas pengawas, beri mereka pembinaan dengan keberanian, logika, dan kewajiban akademik,” ungkapnya.
Unud: Perhatian Utama adalah Pendidikan Bukan Militarisasi Kampus
Sebaliknya, untuk menanggapi keresahan yang dihasilkan dari perjanjian tersebut, pada hari Senin, 31 Maret 2025, mereka merilis respons melalui akun Instagram resmi mereka.
@univ.udayana
menegaskan bahwa Unud mengutamakan pendidikan karakter dan nasionalisme daripada militarisasi kampus.
Pada pengumuman itu disebutkan bahwa pemberitaan tentang PKS yang tersebar di media sosial adalah hasil dari Nota Kesepahaman (MoU) antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang telah ditandatanganinya pada tanggal 27 Oktober 2023. Tujuan MoU ini yaitu untuk menciptakan kerjasama efektif dalam area pendidikan, budaya, ilmu pengetahuan, serta teknologi.
Rektor Unud, I Ketut Sudarsana, menyatakan tegas bahwa kolaborasi tersebut bukan berarti akan mengenalkan praktek militer di lingkungan perguruan tinggi melainkan bertujuan untuk memperkuat pendidikan tentang karakter dan pemahaman bela negara kepada para mahasiswa sekaligus meningkatkan disiplin dan kesadaran nasional mereka.
“Kami bermaksud untuk menyatakan bahwa kolaborasi ini tidakakan mencegah ruang lingkup akademik ataupun kebebasan berfikir di universitas. Semua agenda dalam kerjasama tersebut akan difokuskan pada pembelajaran, transparansi, serta interaktivitas,” jelas Sudarsana seperti yang dirilis oleh Unud pada hari Senin, 31 Maret 2025.
Ketua Unit Komunikasi Publik Unud, Ni Nyoman Dewi Pascarani, menyebut pernyataan yang mirip itu. Menurut dia, kerjasama tersebut sebenarnya ditujukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta menerapkan Tri Dharma dengan lebih baik.
“Sebenarnya tujuannya adalah memperkuat dan meningkatkan pendidikan, layanan, serta implementasi Tri Dharma serupa dengan kolaborasi yang dilakukan bersama lembaga lain seperti ke Polri, Kejaksaan Agung, maupun pemda lainnya. Kami benar-benar menjalin kemitraan dengan beragam institusi, termasuk perusahaan swasta,” jelas dia ketika diwawancara.
Tempo
di Denpasar pada Selasa, 1 Maret 2025.
Terkait ketidaknyamanan para mahasiswa tentang penyelenggaraan PKKMB, beliau menyatakan bahwa tak terdapat unsur militer sama sekali dalam acara tersebut. Menurut pernyataannya, Universitas Udayana memiliki pedoman jelas yang melarang campur tangan siapa pun dalam urusan internal kampus.
“Tidak terdapat sedikitpun unsur militerasi dalam kegiatan kampus; universitas ini punya peraturannya masing-masing serta otoritas tersendiri, dan pastinya Unud tak akan mengizinkan campur tangan siapa pun termasuk dari anggota TNI,” ungkapnya.
Berikut adalah cakupan dari PKS sesuai dengan isi Pasal 2 pada dokumen perjanjian nomor B/2134/UN14.IV/HK.07.00/2025, yaitu melibatkan implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Riset, dan Pengabadian kepada Masyarakat) lewat aktivitas seperti koordinasi dan penyamaan program; pembinaan kemampuan Tenaga Kerja; riset, pengembangan, serta aplikasi hasil temuan; tukar-menukar data dan info; sosialisasi informasi dan promosi pemelihan negara; dan akhirnya berbagai bentuk kerjasama tambahan yang telah disepakati bersama antar pihak.
Vedro Imanuel Girsang
menyumbang untuk penyusunan artikel ini.