BENGKULU, SLONUS
– Di Kabupaten Kaur, Bengkulu, khususnya di Desa Nasal, pada awal masuknya hari pertama Idul Fitri ada sebuah kebiasaan bernama “Sengkure”. Menurut penduduk setempat, ritual ini telah dilaksanakan selama berabad-abad.
Meki Elyantoni, seorang aktivis budaya di Kaur, menyatakan bahwa Sengkure adalah wujud dari suatu makhluk menyeramkan yang hadir dalam mitos leluhur setempat.
Pada masa lalu, cerita rakyat ini disampaikan kepada anak-anak sebelum mereka tidur.
Umumnya, karakter Sengkure dimainkan oleh seorang muda desa yang memakai pakaian khas terbuat dari bahan ijuk pohon kelapa sawit, tikar, dan topeng yang menakutkan.
“Ini adalah warisan nenek moyang yang hanya dipertunjukkan pada hari Lebaran. Tradisi ini merupakan ajang bagi masyarakat untuk bermaaf-memaafkan usai bulan Ramadhan,” jelas Meki ketika diwawancara via telpon, Rabu (2/4/2025).
Mahluk mengerikan bernama Sengkure akan diparade dengan dibawakan lagu-lagu adat.
Baik anak-anak maupun orang dewasa berkumpul untuk menonton parade tersebut dengan penuh semangat.
Ketika dibawa keliling, Sengkure akan bertemu dengan para penduduk. Banyak dari mereka yang menyapa Sengkure dengan salaman, menggambarkan ungkapan penyesalan serta awal halaman baru usai satu bulan penuh menunaikan ibadah puasa.
Untuk para pemuda yang kembali ke kampung halaman, ritual ini menghadirkan kesempatan bertemu dan menjalin hubungan baik dengan tetangga sekitar.
“Tradisi ini sama sekali tidak memiliki elemen mistik, melainkan hanya bersifat sebagai permainan rakyat yang telah ada sejak jaman dulu,” katanya.
Meki menyebutkan bahwa awalnya kisah tentang Sengkure sering dibagikan kepada anak-anak yang susah tidur untuk membantu mereka tertidur dengan cepat dan tetap berada di tempat tidur saat malam tiba.
Lama kelamaan, kisah itu berubah menjadi sebuah tradisi tahunan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Meki menyebutkan bahwa masyarakat Suku Nasal memelihara adat istiadat Sengkure sebagai warisan budaya mereka.
Untuk mereka, ritual ini lebih dari sekedar hiburan; itu merupakan cara melestarikan warisan budaya setempat dan meningkatkan perasaan persaudaraan, sehingga patut untuk dipertahankan.
“Sengkure menjadi simbolidentitas kita sebagai anggota Suku Nasal. Di luar memberikan hiburan, Sengkure juga membantu menciptakan atmosfer Lebaran yang semakin meriah serta dipenuhi keramahtamahan,” jelas Meki.
Bukan hanya mendapat perhatian dari kalangan setempat, warisan budaya ini pun memiliki potensi untuk jadi magnet pariwisata cultural yang istimewa.
Apabila dipresentasikan secara apik, Sengkure dapat berpotensi menjadi simbol budaya dari Kabupaten Kaur yang mampu mengundang para wisatawan datang pada saat peringatan Hari Raya Idul Fitri.