SLONUS
Padahal sudah menerima uang sumbangan, Muhammad Muheb Alfarizi (35) dan Anas Mahfud (40) gagal melaksanakan perjalanan haji mereka dengan berjalan kaki dari Madura menuju Mekkah.
Kedua tokoh tersebut pernah menjadi sorotan di media sosial.
Alasannya, mereka berkeinginan menjalankan ibadah haji dengan melaksanakannya secara berjalan kaki dari Madura ke Mekkah di Arab Saudi.
Selanjutnya, mereka memulai perjalanan dari Madura mulai tanggal 1 Februari 2025.
Sayang sekali, keinginan Muheb untuk pergi ke tanah suci tidak terwujud.
Dia memilih untuk pulang ke Madura sambil berhenti melanjutkan perjalanannya di Cilegon, Banten.
Semua harus dihentikan karena kaki Muheb membengkak.
Cerita tersebut dikirim oleh akun @informasi_malangraya.
Di dalam pos tersebut, dikatakan bahwa penduduk setempat gagal melanjutkan tekad mereka akibat cedera di kakinya.
Bengkaknya kaki Muheb sangat parah.
Muheb juga menyatakan adanya ketidakserasian dengan rekan satu timnya, Anas Mahfud selama perjalanan menuju Mekkah.
Muheb pun mengungkapkan kesedaranannya kepada para sukarelawan yang sudah memberikan dorongan serta pertolongannya sepanjang perjalanannya.
Belum jelas apakah temannya Muheb terus melanjutkan perjalanannya atau ikut pulang ke Madura.
Pada saat yang sama, perjalanan seorang laki-laki berjalan kaki dari Madura ke Mekkah menjadi sorotan dan mendapat banyak tanggapan.
Kritik pedas bermunculan setelah laki-laki itu memilih untuk berhenti di tengah perjalanannya.
Pulangnya keduanya menghadapi ejekan dari publik online.
Beberapa individu mengkritik petualangan menuju Mekkah hanya untuk beribadah, melainkan dianggap sebagai cara mendapatkan bantuan finansial sepanjang perjalanannya.
“Ngga masalah sih yang penting sumbangan udah terkumpul, cukup buat tujuan kita,” komentar @hexacurse.
“Dana telah terhimpun, sekarang waktunya pulakam?” ujar @setiawanbayu549.
“Beginilah cara mencari uang dengan memanfaatkan agama,” kata @r_f_jdar_adhi_hartomo.
“Haji hanya untuk orang yang mampu, bukan mereka yang terburu-buru,” ujar @tegudwic91
“Sudah mendapat uang banyak maka pulanglah, ngapalah lelah berjalan ke Mekkah,” ungkap @r_mahllo.
Perkembangan Ibadah Haji dengan Berjalan Kaki, Bagaimana Pendapat Para Ulama?
Belakangan ini beragam kejadian aneh kembali mengundang sorotan masyarakat. Media-media sosial diisi oleh cerita-cerita para jamaah yang melakukan ibadah haji dengan metode luarbiasa.
Beberapa orang berjalan kaki sepanjang ribuan kilometer, sementara yang lain mengayuh sepeda melewati beragam negeri hingga akhirnya tiba di Tanah Suci.
Cerita-cerita mereka menjadi tren populer, mengundang banyak tanggapan dari publik.
Beberapa orang merasa terkesan, sementara lainnya bertanya-tanya apakah itu sesuai dengan hukum Islam.
Bagaimana pendapat Islam mengenai kejadian tersebut?
Tafsiran Para Ahli Agama Tentang Pasal Wajib Haji
Alasan wajib haji menurut agama Islam dinyatakan oleh Allah di dalam Al-Quran Surah Ali Imran Ayat 97 sebagai berikut:
Dan bagi Allah-lah hak atas manusia untuk berhaji ke Baitullah sebagaimana mereka mampu melalui jalan tersebut.
Artinya: “(Sebagian dari tugas manusia kepada Allah ialah melakukan ibadah haji di Baitullah, yaitu untuk orang yang sanggup menunaikannya.”
Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam buku Mafatihul Ghaib menjelaskan bahwa rukun haji untuk kaum Muslim tergantung pada keadaan kemampuan (istita’ah) seseorang.
Menurutnya, kebanyakan ulama setuju bahwa seorang Muslim wajib melakukan ibadah haji saat mereka sanggup secara materiil (misalnya untuk biaya makan, minum, dll.) serta tersedianya sarana transportasi.
Kebanyakan ahli sepakat bahwa z antid dan rakhilah adalah syarat untuk mendapatkan kemampuan tersebut. Banyak dari para sahabat meriwayatkannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam yang menjelaskan bahwa kemampuan melakukan perjalanan haji dipenuhi dengan adanya z antid dan rakhilah.
Artinya: “Sebagian besar para ulama setuju bahwa persediaan (makanan, minuman, dan keperluan perjalanan) beserta alat transportasi merupakan dua hal penting bagi seseorang agar dinyatakan mampu (istitha’ah) dalam melaksanakan ibadah haji. Beberapa sahabat mengabarkan bahwa Rasulullah menyebut ‘kemampuan untuk melakukan haji’ berarti mempunyai persediaan dan sarana transportasi yang layak untuk sampai ke Bait Al-Maqdis.”
Akan tetapi, sesungguhnya syarat istita’ah ini tidak dibatasi hanya oleh kedua kriteria tersebut yaitu kemampuan untuk menjalankan ibadah haji secara finansial seperti keberadaan modal dan perjalanan saja.
Para ulama tetap memberikan berbagai syarat dan ketentuannya mengenai istita’ah dengan cara yang cukup luas.
Menurut pandangan Mazhab Hanafi, seseorang yang memiliki kemampuan keuangan cukup untuk membeli kendaraan atau menggunakan sarana transportasi, tapi tidak dapat melaksanakan ibadah haji dikarenakan penyakit atau alasan lainnya, maka kewajiban hajinya dianggap batal. Akan tetapi, dalam pendapat Mazhab Syafii, meskipun ada halangan tersebut, masih menjadi suatu kewajiban dan disarankan untuk mengganti dengan cara membayar biaya bagi orang lain yang akan menjalaninya sebagai hakikat dari niat si pihak pertama. Referensi: Badai’i Shanai’, volume 2, halaman 121.
Perspektif Para Ahli Agama Tentang Perjalanan Haji Dengan Berjalan Kaki
Imam Al Qurthubi pada bukunya Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an menyatakan bahwa para ulama memiliki pandangan yang bervariasi terhadap seseorang yang melakukan perjalanan haji ke Mekkah dengan cara berjalan kaki.
Jika dia dapat melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki dan sudah mempunyai persediaan cukup entah dari rumah atau lewat pekerjaannya selama perjalanan, maka tanggung jawab wajib hajinya akan berubah menjadi sunnah.
Jika dia mampu berjalan dan memiliki bekal atau bisa mencari nafkah sepanjang perjalanan dengan keterampilan seperti membuat manik-manisan atau kalung, maka lebih baik baginya untuk haji dengan cara berjalan kaki, apakah itu laki-laki ataupun perempuan.
Artinya: “Apabila ada orang yang sanggup berjalan dan mempunyai tenaga untuk itu, serta dapat membawa perlengkapan sendiri atau mengumpulkannya selama perjalanan dengan cara kerja seperti membuat perhiasan, pengerukan, atau jenis usaha serupa lainnya, maka sangat dianjurkan bagi lelaki ataupun wanita untuk menunaikan ibadah haji dengan jalan kaki.”
Tetapi bila dia dapat membawa perlengkapan hajinya dengan mengemis, maka dilarang keras baginya untuk melakukan ibadah haji karena tindakan itu merugikan pihak lain.
Jadi jika dia berhasil mendapatkan perlengkapan perjalanan dengan meminta bantuan kepada orang lain di jalan, saya tidak menyarankan ia untuk berhaji karena hal itu akan menjadi beban bagi masyarakat.
Artinya: “Apabila ada yang cuma dapat nafkah dengan mengemis di jalanan, maka dia dilarang haji, sebab ini membuatnya menjadi bebani bagi pihak lain.”
Oleh karena itu, praktik haji dengan cara berjalan kaki atau menggunakan sepeda tetap menimbulkan diskusi di antara para ulama. Beberapa pihak menyatakan hal tersebut dibolehkan dan bahkan melihatnya sebagai suatu anjuran, sedangkan kelompok lain mendeskripsikan tindakan ini sebagai tidak disarankan.
Meskipun demikian, di luar perbedaan itu semua, siapa saja yang berniat untuk melakukan ibadah haji dengan cara berjalan kaki atau mengendarai sepeda harus tetap menjaga kondisi kesehatan serta keselamatan mereka.
Apabila dia percaya bisa mencapai tujuan dengan aman, mempunyai persediaan yang cukup, dan tidak mengundang keprihatinan untuk keluarganya di rumah, maka itu dibolehkan.
Di samping itu, dia juga tidak diperbolehkan mempunyai beban lainnya, misalnya memberi nafkah kepada isteri, anak-anak, atau orangtua.
Apabila segala persyaratan tersebut telah dipenuhi, maka bolehlah Anda melakukan ibadah haji sambil selalu waspada serta mengikuti ketentuan-ketentuan agama. Wallahu a’lam bishshawab.
(SLONUS/
TribunnewsBogor.com
)