logo SLO Nusantara


SLONUS,

JAKARTA – Stroke lebih dari sekedar persoalan kesehatan, melainkan juga suatu bencana pribadi dan sosial.

Secepat kilat, seseorang dapat kehilangan kapabilitas untuk bercakap-cakap, melangkah, ataupun memahami wajah-wajah yang dikenalinya. Serangan stroke merupakan saat di mana durasi menjadi otot — tiap-menit mencerminkan lenyapnya satu setengah dua juta sel saraf.

Pada saat terapi stroke tradisional seperti penggunaan obat trombolitik (pembeku gumpalan darah) serta tindakan mekanis mempunyai keterbatasan dalam hal waktu dan mengandung risiko signifikan seperti pendarahan di otak, ilmu pengetahuan pun beralih ke arah yang baru: yaitu nanopartikel busa atau nanobubbles.

Nanobubbles adalah apa sebenarnya? Menurut informasi dari situs resmi Kementerian Kesehatan, nanobubble terdiri atas gelembung-gelembung gas yang ukurannya sangat mini dan berada di bawah 200 nanometer—bahkan lebih kecil dibanding dengan sel-sel darah merah. Gelembung ini tak langsung pecah tetapi bertugas untuk menghantarkan oksigen atau zat-zat farmasis lewat rintangan biologi dalam tubuh manusia, seperti halnya Blood-Brain Barrier (BBB) yang menjadi pelindung spesial bagi otak kita.

Dr. Dito Anurogo MSc PhD, seorang alumni dari IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, adalah dosen tetap di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar Indonesia serta penelitinya ada di Institut Molekul Indonesia. Ia juga aktif dalam beberapa organisasi (seperti PDPOTJI). Menurut paparan beliau, teknologi tersebut awalnya dikembangkan oleh industri pemurnian air. Namun pada satu dekade terakhir, para ahli mulai melihat bahwa jika nanobubble dapat membuat gas semacam oksigen stabil dalam air limbah, mengapa hal itu tidak mungkin dilakukan dalam tubuh manusia?

Saat stroke terjadi, aliran darah menuju bagian tertentu dari otak menjadi tersendat. Hal ini menyebabkan sel-sel otak kurang mendapatkan oksigen serta nutrisi penting lainnya. Namun bukan berarti keseluruhan daerah tersebut secara instan mengalami kematian. Terdapat suatu zona yang dinamai penumbra — sebuah area transisional di mana sel-sel otak belum sepenuhnya hilang fungsinya, namun tetap membutuhkan pertolongan cepat dalam bentuk suplai oksigen untuk pemulihan. Kendati demikian, metode pengobatan seperti terapi oksigen hiperbarik memiliki potensi risiko pula yaitu dapat menciptakan dampak negatif atau kerusakan karena proses produksi radikal bebas berlebih. Inilah saat dimana manfaat nanobubble mulai tampak.

Nanobubuk yang mengangkut oksigen, dikenal sebagai O₂-NBs (nanobubuk oksigen), mampu menyusup ke BBB (Barier Blood-Brain) dan membebaskan oksigen dengan cara bertahap serta terkontrol langsung di area jaringan otak yang rusak. Hal ini tidak hanya memberikan suplai oksigen saja. Lebih dari itu, ini merupakan pemulihan seluler akurat: merawat produksi ATP (tenaga sel), melindungi mitokondria (faktor utama pembuat tenaga pada sel), dan mendapatkan kembali stabilitas untuk neuron hampir musnah.

Obat dalam Gelembung

Nanobubble dapat pula digunakan sebagai pembawa obat. Coba bayangkan obat anti-peradangan atau antioksidan dikemas di dalam bola gas mikro, lalu diproyeksikan secara spesifik menuju area inflamasi pada otak pasca-serangan jantung. Gabungan dari zat seperti superoxide dismutase mimetic (antioksidan buatan manusia) ataupun intereleukin-1 antagonist masuk ke dalam nanobubbles ini mampu menenangkan gelombang sitokin (respon peradangan berlebihan), hal tersebut semakin memburukkan dampak serangan strokedalam organ otak. Hal ini lebih dari sekedar pengecilan bengkak; tujuan utama adalah untuk melindungi sinapses serta melestarikan koneksi antar sel-sel otak.

Satu kemampuan luar biasa lain dari nanobubble adalah reaksinya terhadap ultrasound (sinar suara). Ketika dihadapkan dengan ultrasound, nanobubble dapat “meletus” secara kontrol, menghasilkan aliran mikroskopis yang berfungsi untuk memecahkan pembekuan darah. Fenomena ini disebut sonothrombolisis. Akhirnya, hal tersebut membuat dosis obat pemecah gumpalan seperti tPA dapat dikurangi separuh tanpa merugikan kemanjuran. Selain itu, metode ini tidak hanya lebih hemat tetapi juga mengecilkan potensi pendarahan–yang merupakan harapan bagi para spesialis syaraf.

Badan manusia memiliki sistem perbaikan alami. Nano bubble ini meningkatkannya dengan cara merangsang jalan Nrf2 (faktor inti eritroid terkait faktor 2). Jalan ini mirip seperti saklar darurat yang menyebabkan sel untuk menciptakan protein perlindungan contohnya adalah HO-1 dan NQO1. Hal tersebut berfungsi dalam mengimbangi radikal bebas serta mencegah kematian dari sel-sel tersebut.

Bukan hanya itu saja, nanobubble juga meningkatkan kekuatan sinyal BDNF (faktor neurotrofi hipofisis tipe otot-otot berbentuk saraf—sejenis protein yang mendukung perkembangan synapses, pematangan rantai-rantai dendritic (komponen sel-sel saraf), serta hubungan antara sel-sel saraf. Hal ini menjadi fondasi untuk proses belajar mengaji, menyimpan informasi dalam bentuk memori, dan pemulihan kemampuan kognitif setelah terjadi stroke.

Nanobubbles dapat mensimulasikan keadaan hipoksia ringan dengan mengatur konsentrasi HIF-1α (faktor inducible dalam kondisi hypoxia 1-alpa), yaitu protein yang mempromosikan pembentukan kapiler darah baru (angiogenesis) di otak. Dengan demikian, selain membantu neuron, struktur vaskular otak pun ikut disempurnakan. Hal ini sangat berarti bagi pemeliharaan aliran oksigen secara jangka waktu lama.

Jembatan bagi Sel Hematopoietik dan Terapi Gen

Nanobubuk bukan hanya sebagai pengangkut gas atau obat-obatan saja. Mereka dapat berfungsi juga sebagai transportasi untuk stem cells serta terapi genetik. Coba bayangkan jika kita menggunakan nanobubuk untuk mentransport stem cells secara langsung menuju area otak yang bermasalah, kemudian dengan sinar ultrasonografi lemah tersebut, bubur halus ini akan retak dan membebaskan stem cells pada posisi yang tepat. Atau bahkan mereka bisa membawa sistem CRISPR-aktivator guna merangsang aktivitas gen-gen penyembuh layaknya Sox2, yang mendukung proses diferensiasi stem cells menjadi neuron-neuron baru. Hal ini mirip ketika kita menanam benih dalam kondisi lahan yang sudah bersih dari rumput liar.

Setelah seseorang terkena stroke, respons sistem kekebalan cenderung melampaui batas normal, sehingga memperparah dampaknya. Namun, nanobubble dapat membantu menjinakkannya. Mekanismenya dengan menghalangi rute TLR4/NF-κB —rute yang biasanya menyebabkan dilepaskannya sitokin inflamasi seperti IL-6 dan TNF-α. Selain itu, nanobubble juga mendukung prevalensi jenis sel imunitas pemulihan jaringan (fenotip M2), daripada tipe sel pengrusak (fenotip M1). Secara singkat, hal tersebut beralih fungsi sistem pertahanan menjadi proses penyembuhan.

Masa Depan: Stroke sebagai Pemula, Bukan Penutup

Kapasitas nanobubble dalam membawa obat bertherapi, melewati Batas Pembatas Otak (BBB), menjangkau daerah khusus, serta merangsang penyembuhan pada tingkat sistemik membuatnya menjadi seperti “Pisau Multiguna” di bidang medis. Berdasarkan penelitian teranyar, nanobubble mampu mengatur ekspresi gen tertentu, memicu pembentukan sel saraf baru lewat jalur Wnt/β-catenin, dan juga dapat meningkatkan tumbuhnya serabut syaraf yang sempat terganggu karena adanya bekuan jaringan glikal (scar glikal).

Dengan menggunakan teknologi machine learning bersamaan dengan ilmu bioinformatika, prediksi sebaran nanobubble dapat dilakukan dengan tepat. Ini berarti bahwa para dokter di kemudian hari akan mampu menentukan kapan dan berapa banyak dosis yang paling efektif melalui proses scanning dan penggunaan algoritme.